Sinarbanten.id
Jakarta - Citayam, Sudirman, dan Dukuh Atas sedang jadi topik perbincangan hangat terutama di lini masa dalam beberapa waktu belakangan. Topik ini juga diikuti dengan satu istilah khusus yakni Citayam Fashion Week.
Fenomena apa ini ? Yuk simak .....
Citayam Fashion Week merujuk pada fenomena kerumunan remaja di bilangan Sudirman, Jakarta Pusat, khususnya di kawasan Dukuh Atas yang memang dikenal memiliki lanskap ramah pejalan kaki dengan pedestrian yang lebar. Lain itu, kawasan ini juga memiliki fasilitas ruang publik yang memadai untuk dijadikan tempat berkumpul bagi komunitas masyarakat dari berbagai latar belakang.
Di tempat itu lah, ratusan anak remaja yang diketahui berasal dari Citayam, Bojonggede, Bekasi, atau pinggir wilayah Jakarta berbondong-bondong meramaikan lingkungan sekitar.
Disebut fashion week, karena mereka yang berkumpul di tempat tersebut memiliki ciri khas dalam hal setelan pakaian dan berpenampilan. Ada yang memakai celana jeans dengan model cutbray, kaus oversize, kemeja flanel, tas cangklong, kacamata gaya, topi, hingga sneakers. Lain itu mayoritas dari mereka ada juga yang menggunakan pakaian bernuansa hitam dengan gaya ala streetwear dan nyentrik.
Citayam Fashion Week begitu mencuri perhatian karena fenomena ini awalnya dianggap bertolak belakang dengan citra elite yang sudah lebih dulu melekat dengan kawasan Sudirman, dan terlihat berbeda dari sebelumnya.
Di mana tadinya kawasan Sudirman dan Dukuh Atas didominasi oleh masyarakat Ibu Kota, atau masyarakat yang umum dikenal sebagai pekerja kantoran dengan setelan kasual dan semi-formal.
Terlepas dari perbincangan hangat yang muncul dari fenomena Citayam Fashion Week, ada satu persoalan yang harusnya menjadi perhatian penting bagi pemerintah khususnya terkait aspek perencanaan wilayah dan kota, yakni pentingnya keberadaan ruang publik.
”Public spaces - not a ‘nice to have’ but a basic need for cities”, yang artinya ruang publik bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk dimiliki, melainkan kebutuhan dasar bagi setiap kota.
Ungkapan tersebut dituliskan dalam artikel World Bank, yang menjelaskan betapa pentingnya keberadaan ruang publik bagi masyarakat. Faktanya, harus diakui jika membahas Jakarta dan sekitarnya, ruang publik masih menjadi hal yang belum terlalu umum dijumpai dalam jumlah massal.
Hal tersebut lantaran lahan yang ada lebih diprioritaskan untuk dibangun sebagai kawasan perkantoran, industri, dan sejenisnya. Sedangkan masyarakat membutuhkan ruang untuk bersosialisasi, berinteraksi, mencari hiburan, dan lain sebagainya.
Sehingga ketika ada ruang publik dengan fasilitas yang memadai seperti kawasan Dukuh Atas dan Sudirman yang tidak dapat ditemui di daerah lain, otomatis langsung mengundang kedatangan dari masyakat di kota satelit seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan sekitarnya.
Ditambah lagi, akses untuk bisa mencapai ruang publik yang dimaksud tidaklah sulit. Dengan adanya komuter (KRL) misalnya, hanya mengeluarkan uang sekitar Rp3.000-Rp5.000, masyarakat yang dimaksud sudah bisa mengakses ruang publik dengan perjalanan yang nyaman dan cepat.
Berangkat dari kondisi tersebut, fenomena yang awalnya tak dimungkiri dianggap kurang elok oleh kalangan elit atau masyarakat menengah ke atas, perlahan mulai banyak dimaklumi oleh mereka yang paham konteks kebutuhan kelompok masyarakat lain yang sebenarnya.
“Empati kepada mereka yang dahaga ruang publik dan dahaga hiburan dengan suasana kosmoplit, saya kira itu penting.” ujar Sosiolog UNJ Ubedilah Badrun, mengutip USS Feed.
Lebih dari itu, anggapan dan respons senada juga diungkapkan oleh Gubernur DKI Jakarta sendiri, yakni Anies Baswedan. Menurutnya, hal tersebut justru menjadi kesempatan untuk mensetarakan kepemilikan fasilitas umum menjadi milik bersama.
Dijelaskan bahwa dulunya kawasan Sudirman hanya dimiliki atau hanya bisa diakses oleh orang-orang yang memiliki kepentingan di lingkungan tersebut, dalam artian para pekerja Ibu Kota. Sehingga tidak semua orang bisa atau memiliki kesempatan secara santai untuk menikmati kawasan pedestrian terbesar di Jakarta, bahkan Indonesia.
Namun dengan adanya perkembangan ini bukan hanya pekerja Ibu Kota atau masyarakat Jakarta, namun bahkan seluruh masyarakat Jabodetabek bisa menikmati ruang publik di kawasan tersebut.
“Jadi yang kita miliki bukan sekadar trotoar. Mendadak (lanskap) tower-tower tinggi itu bukan hanya menjadi milik mereka yang bekerja di tempat ini tapi bagi siapa saja silahkan datang. Saya mengistilahkan demokratisasi Jalan Jenderal Sudirman karena menjadi milik semua. Siapa saja bisa datang menikmati” ungkap Anies.***