Sinarbanten.id
Jakarta - Melalui Komisi VII DPR, pihak DPR RI menyatakan bahwa mereka akan menyetujui dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Termasuk pertalite dan solar yang akan naik sebanyak 30 persen dari harga awal.
Sebagaimana disambut oleh Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto mengatakan bahwa secara eksplisit dari Partai Nasdem mengusulkan kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar subsidi mencapai 30 persen.
Namun, walaupun demikian pemerintah tetap tidak akan menghapus tiadakan atau bahkan mencabut BBM subsidi.
"Pertalite Rp10.000/liter eksplisit dari Nasdem, dengan catatan tetap ada subsidi. Karena kan keekonomian Pertalite itu Rp17.000-an/liter, jadi memang harus tetap disubsidi," ungkap dia dalam Raker bersama Menteri ESDM, Arifin Tasrif pada hari Rabu, 24 Agustus 2022.
Tak hanya itu, Sugeng juga meminta agar subsidi BBM harus tepat sasaran penerimanya, kenaikan harga BBM harus disertai dengan pembatasan pembelian Pertalite."Dalam tingkat tertentu kami ingin subsidi diberikan ke orang bukan barang seperti ke BBM," ungkapnya.
Sugeng juga turut menjelaskan terkait subsidi yang sudah dikeluarkan negara melalui pihak APBN dalam menahan kenaikan harga Pertalite dan Solar sudah cukup memberatkan.
Sehingga, walaupun ada penambahan kuota Pertalite sebesar 5 juta kilo liter saja, maka kompensasi dan subsidi yang ditanggung negara dapat mencapai Rp500 triliun lebih.
Oleh karena itu, subsidi sudah tidak dapat ditahan lagi.
Kenaikan tersebut pasalnya juga disebabkan karena harga LPG, kenaikan CP Aramco yang menjadi dasar acuan pembentuk harga LPG juga turut membebani keuangan negara.
"Ini lah problem-problem yang kita lihat tampaknya ini sudah tidak bisa ditahan lagi Pertalite dan Solar," ujar Sugeng.
Walaupun demikian, Sugeng juga tetap meminta agar pemerintah tetap memperhatikan keberadaan masyarakat. Baik dari segi kemampuan daya beli masyarakat dan kemampuan keuangan negara.
Termasuk kemampuan Pertamina yang menjalankan tugasnya.
Karena Sugeng mengingat pada harga Pertamax yang dijual dengan harga Rp12.500 masyarakat masih sulit untuk mencocokkan dengan perekonomian.***