Sinarbanten.id
Jakarta — Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendorong pemerintah, DPR, dan Polri untuk melakukan reformasi dalam tubuh Polri. Menurut Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur, rekayasa kasus seperti pembunuhan Brigadir J yang dilakukan personel Polri, bukan pertama kali terjadi.
Ia mencontohkan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan pernah dituduh melakukan pembunuhan pada 2012 setelah dia memimpin penyidikan terhadap Irjen Pol Djoko Susilo. Kasus Novel kemudian dimunculkan kembali pada 2015 ketika KPK menetapkan calon Kapolri saat itu, Budi Gunawan, sebagai tersangka.
"Serangkaian kasus-kasus penyiksaan hingga pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh anggota kepolisian membuktikan bahwa Polri belum sungguh–sungguh melakukan reformasi kepolisian," jelas Isnur kepada VOA, Sabtu (13/8).
Dalam kasus Novel, pada 2015, Ombudsman menyatakan telah terjadi manipulasi dan rekayasa dalam laporan polisi. Antara lain rekayasa dan manipulasi surat keputusan penghukuman disiplin, rekayasa dan manipulasi berita acara pengambilan barang bukti anak peluru, serta rekayasa dan manipulasi berita acara laboratoris kriminalistik.
Isnur menyebut, pola rekayasa kasus biasanya juga dilatarbelakangi dengan serangkaian tindakan kekerasan, penyiksaan hingga pembunuhan di luar proses hukum. YLBHI mencatat setidaknya ada terdapat 102 kasus kekerasan dan penyiksaan dengan jumlah korban mencapai 1.088 korban.
"Dari kasus-kasus tersebut, terungkap bahwa penyiksaan dilakukan oleh anggota kepolisian pada saat proses BAP (berita acara pemeriksaan -red), penyelidikan dan penyidikan, dalam tahanan, dan sebagian di antaranya menjadi korban salah tangkap," ujar Isnur.
Di sisi lain, kata Isnur, pejabat atasan kerap membenarkan perilaku tersebut dengan berlindung pada kewenangan diskresi untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian individual. Akibatnya terjadi pengkondisian untuk mengaburkan fakta-fakta akan suatu peristiwa. Selain itu, terdapat kecenderungan sesama anggota Polri untuk menutupi atau melindungi sehingga sedikit kasus kekerasan polisi dapat dituntaskan sesuai prosedur hukum.
"Polri belum mampu menghilangkan kultur kekerasan internal Polri serta lemahnya fungsi pengawasan terhadap anggota Polri. Apalagi pelaku dalam kasus pembunuhan Brigadir J, justru Kadiv Propam yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan kode etik Polri," tukasnya.
YLBHI mendesak Polri untuk serius menjalankan reformasi kepolisian, termasuk reformasi pengawasan internal. Selain itu, YLBHI juga mendesak pemerintah dan DPR untuk segera membuat mekanisme yang efektif untuk mencegah penyiksaan terulang kembali.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Irjen Ferdy Sambo telah mengakui sebagai aktor utama pembunuhan terhadap Brigadir J. Hal tersebut terungkap saat Sambo diperiksa Komnas HAM di ruangan khusus di Mako Brimob, Kelapa Dua Depok, pada Jumat (12/8). Menurut Taufan, Sambo mengakui telah merekayasa peristiwa penembakan menjadi aksi saling tembak antara Bharada E dengan Brigadir J.
"Dengan pengakuan seperti ini kita berharap nanti proses penyidikan selanjutnya sampai persidangan bisa menghasilkan satu keputusan peradilan yang seadil-adilnya," jelas Taufan Damanik di Mako Brimob Depok, Jumat (12/8).
Taufan menambahkan Sambo juga menyampaikan permohonan maaf ke lembaganya dan masyarakat atas rekayasa kasus pembunuhan ini. Sementara itu, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menambahkan pihaknya batal memeriksa Bharada E pada Jumat (12/8) sebab ia masih menjalani proses penilaian di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Kami menunda proses (pemeriksaan Bharada E -red) sampai pekan depan," tutur Beka.
Kepolisian Indonesia telah menetapkan empat tersangka dalam kasus pembunuhan terhadap Brigadir J, yakni mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdi Sambo, Bharada E, Bripka RR, dan KM. Dalam konferensi pers, Selasa (9/8), Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan bahwa tidak ditemukan fakta peristiwa tembak menembak seperti yang disampaikan Polri sebelumnya. (Adt)